Beranda | Artikel
Mengenal Nama Allah Al-Mutakabbir
6 hari lalu

Mengetahui nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah jalan agung untuk mencapai pengenalan dan penghambaan sejati kepada-Nya. Di antara nama-Nya yang agung adalah Al-Mutakabbir, yaitu Yang Memiliki Segala Keagungan. Perenungan terhadap nama ini akan meneguhkan bahwa tidak ada yang pantas untuk diagungkan, ditunduki, dan disembah kecuali Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.

Dalil nama Allah “Al-Mutakabbir”

Nama Al-Mutakabbir disebutkan satu kali dalam firman Allah Ta‘ala,

الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ

“Yang Mahaperkasa, Yang Maha Menguasai, Yang Memiliki Segala Keagungan.” (QS. Al-Hasyr: 23)

Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya di antara nama dari nama-nama Allah yang indah (al-asmā` al-ḥusnā) adalah Al-Mutakabbir. [1]

Kandungan makna nama Allah “Al-Mutakabbir”

Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mutakabbir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.

Makna bahasa dari “Al-Mutakabbir”

Al-Mutakabbir merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku) dari yang disifati dengan al-kibriyā’. [2]

Kata al-kibriyā’ ( الكبرياء ) bermakna: kekuasaan dan kerajaan. Allah berfirman mengisahkan ucapan Fir‘aun,

وَتَكُونَ لَكُمَا الْكِبْرِيَاء فِي الأَرْضِ

“… dan agar kamu berdua memiliki kekuasaan atau kerajaan (al-kibriyā’) di muka bumi.” (QS. Yunus: 78), yang dimaksud adalah kekuasaan atau kerajaan.

Kata ini juga bermakna ( العَظَمة والتَّجبر ), yaitu keagungan dan keperkasaan. [3]

Makna “Al-Mutakabbir” dalam konteks Allah

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,

(‌الْمُتَكَبِّرُ) الذي تكبر بربوبيته فلا شي مِثْلَهُ. وَقِيلَ: ‌الْمُتَكَبِّرُ عَنْ كُلِّ سُوءٍ الْمُتَعَظِّمُ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِهِ مِنْ صِفَاتِ الْحَدَثِ وَالذَّمِّ. وَأَصْلُ الْكِبْرِ وَالْكِبْرِيَاءِ الِامْتِنَاعُ وَقِلَّةُ الِانْقِيَادِ

Al-Mutakabbir adalah Dzat yang menyombongkan diri karena rubūbiyah-Nya; maka tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dikatakan pula bahwa Al-Mutakabbir adalah yang bersih dari segala keburukan, dan yang meninggikan diri dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya berupa sifat-sifat makhluk dan kekurangan.
Asal makna al-kibr dan al-kibriyā’ adalah: penolakan dan tidak tunduk.” [4]

Ketika menafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

وَقَوْلُهُ: {الْعَزِيزُ} أَيِ: الَّذِي قَدْ عَزَّ كُلَّ شَيْءٍ فَقَهَرَهُ، وَغَلَبَ الْأَشْيَاءَ فَلَا يُنَالُ جَنَابُهُ؛ لِعِزَّتِهِ وَعَظَمَتِهِ وَجَبَرُوتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ؛ وَلِهَذَا قَالَ: {الْجَبَّارُ ‌الْمُتَكَبِّرُ} أَيِ: الَّذِي لَا تَلِيقُ الجَبْرّية إِلَّا لَهُ، وَلَا التَّكَبُّرُ إِلَّا لِعَظَمَتِهِ

Al-‘Azīz (Yang Mahaperkasa) artinya Dzat yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya, dan Dia menundukkan segala sesuatu, sehingga tidak ada satu pun yang dapat mencapai kedudukan-Nya karena keperkasaan, keagungan, kekuasaan mutlak, dan keagungan-Nya. Oleh karena itu, Dia disebut juga Al-Jabbār dan Al-Mutakabbir — yaitu Dzat yang tidak layak sifat jabāriyah (keperkasaan mutlak) dan keagungan (yang menolak ketundukan) kecuali hanya bagi-Nya.” [5]

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan,

“المتكبر” عن السوء والنقص والعيوب، لعظمته وكبريائه

Al-Mutakabbir adalah Dzat yang suci dari segala keburukan, kekurangan, dan cacat, karena keagungan dan keperkasaan-Nya.” [6]

Kesimpulannya, Asy-Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr hafidzahullah mengumpulkan semua makna tersebut, dengan mengatakan,

وجماع ذلك أن هذا الاسم يدل على تعالي الله عن صفات الخلق، وتعظمه سبحانه عن مماثلتهم أو أن يماثلوه، ورفعته سبحانه عن كل نقص وعيب، فهو المتكبر عن الشر وعن السوء وعن الظلم وعن كل نقص، وهذا متضمن ثبوت الكمال له سبحانه في أسمائه وصفاته وأفعاله.

“Kesimpulannya, nama Al-Mutakabbir menunjukkan bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā Maha Tinggi dari sifat-sifat makhluk, dan Maha Agung sehingga tidak bisa diserupakan ataupun dipersamakan dengan siapa pun. Dia Maha Tinggi dari segala kekurangan, keburukan, kezaliman, dan ketidaksempurnaan — yang semuanya menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya.” [7]

Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mu’min”

Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mutakabbir” bagi hamba

Penetapan nama “Al-Mutakabbir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:

Wajib beriman bahwa Al-Mutakabbir merupakan nama Allah

Seorang hamba wajib meyakini bahwa Al-Mutakabbir adalah salah satu nama Allah Ta‘ala, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya yang mutlak, yang tidak layak dimiliki oleh siapa pun selain-Nya.

Hendaknya seorang hamba menjauhi kesombongan

Kesombongan adalah sifat yang hanya layak bagi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Sifat seorang tuan adalah keagungan dan keperkasaan, sedangkan sifat seorang hamba adalah kerendahan, ketundukan, dan khusyuk. Allah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat keras di hari kiamat. Allah Ta‘ala berfirman,

فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنتُمْ تَفْسُقُونَ

“Maka pada hari ini, kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dan karena kamu berbuat kefasikan.” (QS. Al-Aḥqāf: 20)

Kesombongan inilah yang menghancurkan umat-umat terdahulu. Bahkan, itulah sebab utama kehancuran Iblis — semoga Allah melaknatnya — dan pengusirannya dari rahmat Allah. Dia enggan bersujud kepada Nabi Ādam ‘alaihis-salām dan menyombongkan diri terhadap perintah Rabb-nya. Allah berfirman,

إلا إبْليسَ أبى واستكبر وكان من الكافرين

“Kecuali Iblis; ia enggan dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34) [8]

Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah

Sungguh mengherankan —bahkan sangat mengherankan— bagaimana mungkin orang-orang bodoh lagi lemah akal itu merasa cukup dengan kesombongan, lalu enggan beribadah kepada Yang Maha Perkasa, dan menolak mengikhlaskan ibadah kepada Yang Maha Pengampun, tetapi malah mempersembahkan ibadah, pengagungan, dan ketundukan mereka kepada batu, pohon, atau makhluk lain yang sama sekali tidak memiliki kuasa selain kehinaan dan kefakiran. Tiada ilah (sesembahan) yang benar (berhak disembah) selain Allah! Ke manakah akal mereka pergi dari kebenaran dan petunjuk? Bagaimana bisa mata hati mereka buta dari cahaya dan terang kebenaran? Mahasuci Allah, sungguh betapa buruknya keadaan mereka.

Allah berfirman,

وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Dan apabila disebut nama Allah saja, maka merasa jengkellah hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Tetapi apabila disebut selain-Nya, mereka serta-merta bergembira.” (QS. Az-Zumar: 45)

Sungguh betapa rusaknya akal mereka. Kita berlindung kepada Allah dari kesesatan, kita memohon kepada-Nya agar dikaruniai kerendahan hati di hadapan-Nya, dan dilindungi dari jalan orang-orang yang sombong. Hanya Allah yang Maha Pemberi lagi Maha Penolong. [9]

Bersikap tawadhu‘ dan tunduk karena keagungan Allah serta rendah hati terhadap sesama

Di antara buah keimanan terhadap nama Allah Al-Mutakabbir adalah tumbuhnya sikap tawadhu‘ (rendah hati) dan khusyuk karena keagungan Allah ‘Azza wa Jalla, serta kerendahan hati terhadap sesama manusia.

Barang siapa menyaingi Allah dalam keagungan-Nya, maka tempat kembalinya adalah neraka, seburuk-buruk tempat kembali.

Allah Ta‘ala berfirman,

أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوَى لِلْمُتَكَبِرِينَ

“Bukankah di neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60)

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan nama-Mu Al-Mutakabbir, karuniakanlah kepada kami kerendahan hati di hadapan keagungan-Mu. Lindungilah kami dari jalan orang-orang yang sombong, dan dari keburukan diri kami serta amal kami yang buruk. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Semoga selawat, salam, dan keberkahan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. [10]

Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Muhaimin”

***

Rumdin PPIA Sragen, 15 Zulhijah 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi utama:

  • Al-Badr, Abdur Razzaq. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah, 2015 M.
  • An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.
  • Al-Misy‘ad, Mubarak Abdullah. At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna li Ibni ‘Utsaimin wa Mukhtashariha. Cetakan Pertama. Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, 1444 H.

 

Catatan kaki:

[1] An-Nahj al-Asmā, hal. 106.

[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548 dan At-Ta‘liq al-Asna ‘ala Manzhumat Asma’ Allah al-Husna, hal. 142.

[3] An-Nahj al-Asmā, hal. 106. Lihat juga Maqayisul Lughoh, hal. 799; dan Al-Mishbaul Munir, hal. 533.

[4] Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 18: 47.

[5] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.

[6] Taysīr Al-Karīm Ar-Raḥmān, hal. 946.

[7] Fiqhul Asma’il Husna, hal. 294.

[8] Lihat An-Nahj Al-Asma, hal. 108–109.

[9] Fiqh Al-Asmā’ Al-Ḥusnā, hal. 178.

[10] At-Ta‘liq Al-Asnā, hal. 145.


Artikel asli: https://muslim.or.id/106200-mengenal-nama-allah-al-mutakabbir.html